Minggu, 05 Januari 2014

SEX REVERSAL DAN ACETOKARMIN

AHMAD HUSEIN
11/313633/PN/12327
SEX REVERSAL DAN ACETOKARMIN

A.    TUJUAN
1.      Sex revrsal
-          Mengetahui beberapa metode yang digunakan untuk sex reversal
-          Mengetahui kelebihan dan kekurangan dari setiap metode
2.      Acetokarmin
-          Mengetahui metode yang digunakan untuk melihat jenis kelamin ikan melalui pengamatan pada gonad ikan
-          Mengetahui kelebihan dan kekurangan metode asetokarmin yang digunakan dalam melihat jenis kelamin ikan

B.     ALAT DAN BAHAN
1.      Sex reversal
Alat:                                                                            Bahan:
-          Aquarium                                                             - Indukan ikan guppy
-          Selang                                                                  - Pakan D0
-          Aerasi                                                                  - Koran
-          Sprayer semprot                                                   - 17α- Methyl testosterone
-          Seser                                                                    - Alkohol 70%
-          Penggaris
-          Alat tulis
2.      Acetokarmin
Alat:                                                                            Bahan:
-          Alat section (gunting, scalpel dan pinset)           - Ikan sampel (ikan nila)
-          Object glass                                                         - Larutan acetokarmin
-          Cover glass
-          Mikroskop
-          Alat dokumentasi (kamera)
C.    CARA KERJA
1.      Sex reversal
-          Metode oral
Disiapkan sepasang indukan ikan guppy
Dipijahkan dalam waktu empat hari
Dihari ke-5, indukan jantan dipisahkan
Larutankan 80 mg 17α- methyl testosterone pada 1 L alkohol 70%
Dimasukkan kedalam sprayer, disemprot pakan D0 sebanyak 200 gr
Pakan dikeringkan
Pakan D0 yang telah kering kemudiaan diberikan pada induk betina hingga beranak
-          Metode rendam
Disiapkan sepasang indukan ikan guppy
Dipijahkan selama empat hari
Dihari ke-5, indukan jantan dipisahkan
Larutankan 20 mg 17α- methyl testosterone pada 0,5 ml alkohol 70%
Dimasukkan larutan berhormon kedalam 10 L air
Air pada aquarium indukan betina diganti dengan 10 L air berhormon
Rendam dengan air berhormon selama 24 jam
Pada hari ke-6, air pada aquarium indukan betina diganti dengan air biasa
Dipelihara induk hingga beranak

2.      Acetokarmin
Dimatikan ikan
Disectio ikan, ambil bagian gonad
Diletakkan gonad pada object glass
Ditetesi gonad dengan larutan acetokarmin hingga menggenangi sampel
Dicacah gonad hingga halus
Ditutup sampel dengan cover glass
Diamati dengan mikroskop
Didokumentasikan
D.    HASIL PENGAMATAN
1.      Sex reversal
Kelompok
Oral (%)
Rendam (%)
1
-
-
2
100
-
3
-
-
4
-
-
5
-
-
Rasio : Oral = 9;1
           : Rendam = 7;3
2.      Acetokarmin
-          Hasil dokumentasi (foto) terlampir
-          Jenis kelamin ikan
kelompok
Sampel
1
2
1
Betina
Betina
2
Betina
Betina
3
Jantan
Betina
4
Betina
Betina
5
intersex
Betina

E.     PEMBAHASAN
SEX REVERSAL
Menurut Zairin (2002), sex reversal dapat diartikan sebagai suatu teknologi yang membalikkan arah perkembangan kelamin menjadi berlawanan. Dengan penerapan teknologi ini, ikan yang seharusnya berkelamin jantan diarahkan perkembangan gonagnya menjadi betina dan sebaliknya. Cara ini mungkin dilakukan karena pada waktu menetas gonad ikan belum terdeferensiasi secara jelas menjadi jantan atau betina. Salah satu cara memperoleh ikan jantan dalam jumlah banyak adalah dengan pembalikan (sex reversal) dengan pemberian hormone androgen selama proses diferensiasi. Sasaran pembalikan adalah ikan bergenotif betina, sebab jantan otomatis akan menjadi genotif jantan. Hormon yang diberikan selama masa labil perkembangan gonadnya mempunyai pengaruh yang lebih dominan dibanding dengan pengaruh hormone estrogen yang dihasilkan oleh gonad. Hormon yang dapat digunakan untuk membuat genotif ikan menjadi fenotif jantan adalah 17α- methyl testosteron, 11- ketontestosteron, 17α- etiltestosteron, testosteron propionate, androsteron, androtenoidione dan metal-andro stenedione (Yamamato, 1953).
Menurut Zairin (2002) dengan membudidayakan ikan secara sex reversal maka didapatkan ikan denga pertumbuhan yang cepat, mencegah terjadinya pemijahan liar, mendapatkan ikan dengan penampilan yang menarik dan menunjang genetika ikan yaitu suatu teknik pemurniaan ras ikan. Kegiatan budidaya secara monosex (sex reversal) akan bermanfaat dalam peningkatan laju pertumbuhan ikan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan tingkat pertumbuhan antara jenis ikan jantan dan ikan betina. Untuk mencegah pemijahan liar dapat dilakukan dengan metode sex reversal. Pemijahan ikan yang tidak terkontrol dapat menyebakan kolam cepat penuh dengan berbagai ukuran, total biomassa tinggi dan kualitas ikan menjadi rendah. Pada beberapa jenis ikan seperti ikan hias cupang dan guppy penerapan dengan metode ini akan memiliki penampilan tubuh yang lebih baik pada jantan. Dengan demikian nilai jual akan tinggi dan akan meningkatkan produktifitas pendapatan.
Beberapa metode yang digunakan yang digunakan dalam sex reversal meliputi metode pemberian pakan berhormon dan metode perendaman dengan larutan berhormon. Metode oral/ pemberian pakan berhormon dapat dilakukan dengan melartukan hormone dalam pelarut polar seperti alkohol dan disemprtokan pada pakan buatan (pakan D0) yang kemudian dikeringkan dengan dilapisi koran dibawahnya. Hormon yang digunakan dapat berupa hormone estrogen (feminisasi) dan hormone androgen (maskulinisasi). Metode pemberian pakan berhormon memiliki kelebihan yaitu kumudahan dan biaya murah, tidak larut dalam air, mudah dalam penanganan, tahan lama dan sangat efektif jika diaplikasikan secara oral atau dicampur dengan pakan. Kelemahan dari metode ini adalah tidak dapat dicampur langsung dengan air serta adanya keterbatasan larva dalam mengkonsumsi pakan (Popma dan Green, 1991). Pakan yang telah selesai dikeringkan kemudiaan disimpan dan memberikan pakan tersebut ke induk betina hingga indukan mengeluarkan anak.
Metode yang kedua adalah metode rendam yaitu perendaman dengan larutan berhormon. Metode ini merupakan metode yang dilakukan dengan merendam object target kedalam larutan berhormon selama rentang waktu tertentu. Hormon yang terlarut didalam air diharapkan mampu masuk kedalam tubuh ikan melalui proses difusi. Ikan yang telah dipijahkan selama 4 hari dan pada hari ke-5 induk jantan dipisahkan dari induk betina. Larutkan 17α- methyl testosterone pada 0,5 ml alkohol 70% dan masukkan larutan tersebut kedalam 10 L air dan air yang tersebut dimasukkan kedalam wadah induk betina dengan mengganti air yang ada sebelumnya. Ikan induk betina direndam dalam larutan berhormon selama ±24 jam dan pada hari ke-6 pemeliharaan air pada indukan betina diganti kembali dengan air bersih. Kelemahan dari metode ini adalah hormon untuk mencapai sel target terlalu jauh dan pemberiaan hormon dengn dosis yang terlalu tinggi maka larva ikan tidak kuat dan dapat menyebabkan kematian.
Hormon 17α- methyl testosterone adalah salah satu hormon untuk mempertinggi terjadinya produksi kelamin jantan pada ikan. Hormon ini adalah hormon androgen sintesis yang fungsinya untuk dapat mempengaruhi perubahan kelamin individu. Mekanisme kerja dari 17α- methyl testosterone yaitu menghambat terjadinya pembentukan gonad betina sehingga perkembangan gonad selanjutnya yang akan berkembang adalah testis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa testosterone dalam jumlah kecil yang diberikan kepada individu yang gonadnya belum berkembang secara langsung akan memperngaruhi hypothalamus secara tetap selama tahap kritis perkembangan gonad dan pembentukan karakter jantan. Diduga testosterone mempengaruhi neuron melalui bagian preotic hypothalamus dengan synapsis disekresikan pada gonadotropin releasing factor (Kusmini, 2004).
Untuk memperoleh hasil yang terbaik dari kajian sex reversal yang dilakuan menurut Zairin (2002), dosis atau konsentrasi, waktu dan lama perendaman merupakan faktor penting yang menunjang keberhasilan pengubahan sex kelamin. Berdasararkan penelitian yang dilakukan oleh Ruliaty dkk (2004), perendaman benih rajungan dengan dosis hormone 17α- methyl testosterone yang berbeda memberikan pengaruh nyata (p<0,5) terhadap pembelokan kelamin benih uji menjadi jantan. Menurut Hunter dan Donaldson (1983), ada hubungan antara awal dan akhir diferensiasi kelamin dengan lama waktu pemberian hormon. Pemberian hormon sengat bergantung pada interval waktu perkembangan gonad, yaitu pada saat gonad labil untuk dipengaruhi oleh hormon sehingga pemberiaan hormon steroid sebagai perangsang diferensiasi harus dilakukan secara bersamaan dengan waktu terjadinya diferensiasi alami. Diferensiasi kelamin merupakan masa kritis, diferensiasi ini dimulai setelah menetas baik sebelum atau sesudah larva mulai makan. Masa kritis tersebut merupakan masa yang tepat untuk pemberiaan hormon steroid (Yamazaki, 1983).
Selain hal diatas, proses biologis yang terjadi pada hewan uji yang berkaitan dengan penyerapan hormon turut mempengaruhi keberhasilan sex kelamin hewan uji menjadi jantan. Proses penyerapan hormon kedalam tubuh diduga terjadi melalui proses difusi, dari insang hormon dibantu oleh pembuluh darah, setelah itu hormon diedarkan ke organ dan jaringan syaraf. Sesampainya disel atau ditarget sasaran, steroid yang yang masuk berikatan dengan reseptor yang terletak dalam kantong sperma (Djojosoebagyo, 1990). Penambahan hormon kedalam media perendaman menyebabkan adanya perbedaan konsentrasi hormon dalam cairan larva dengan konsentrasi didalam media. Perbedaan ini selanjutnya menyebabkan terjadinya difusi. Menurut Hunter dan Donaldson (1983), keberhasilan mengubah sex kelamin tidak hanya ditentukan oleh jenis dan dosis hormon yang digunakan, akan tetapi juga dipengaruhi oleh lama pemberiaan dosis/hormon, spesies dan suhu air selama masa perlakuan serta tata cara pemberian hormon. Pemberian hormon methyl testosterone dengan konsentrasi tinggi dan masa pemberian yang lama dapat menyebabkan terjadinya efek paradoksial yaitu yang diberi perlakuan dengan methyl testosterone hasil yang diperoleh bukan peningkatan jumlah kelamin jantan melainkan peningkatan jenis kelamin betina (Piferrer and Donaldson, 1989).
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap pengujian sex reversal terhadap ikan guppy diperoleh hasil yang berbeda-beda dari setiap perlakuan pada beberapa kelompok penguji. Kelompok dengan perlakuan metode oral atau pemberian dengan pakan berhormon menghasilkan anakan dengan rasio 9 jantan dan 1 betina (9;1). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Gusrina (2008) yang menyatakan bahwa metode dengan oral dapat meghasilkan anakan jantan hingga mencapai presentasi 90-100%. Pada kelompok dengan perlakuan metode rendam yaitu merendam indukan ikan betina dengan larutan berhormon menghasilkan anakan dengan rasio 7 jantan dan 3 betina (7;3). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Gusrina (2008) yang menyatakan bahwa metode dengan rendam dapat meghasilkan anakan jantan hingga mencapai presentasi atau tidak lebih dari 70%.
Kemungkinan yang terjadi saat uji sex reversal tidak menghasilkan anakan adalah disebabkan oleh faktor kualitas air. Pada beberapa kelompok penguji kemungkinan yang ada yaitu kurangnya telaah tentang kualitas air yang baik untuk budidaya. Ikan guppy yang mempunyai kisaran toleransi terhadap pergeseran kualitas air yang drastis juga memiliki kualitas air tertentu terkait dengan mekanisme reproduksinya. Agar mudah memijah, ikan guppy harus dipelihara pada air yang agak sadah dengan pH antara 6,0-7,0 (Zairin, 2013). Selain faktor kualitas air tersebut, faktor seperti cara pemberian hormone (dosis tertentu) dan lama pemberian (perendaman) juga dapat mempengaruhi keberhasilan dari ikan yang dipijahkan. Pemberian hormone dengan konsentrasi yang tinggi dan lamanya masa pemberian hormone juga akan menyebabkan terjadinya efek paradoksial ataupun tidak sama sekali menghasilkan keturunan yang baru.

ACETOKARMIN
Asetokarmin merupakan salah satu teknik modifikasi pewarnaan dalam bidang sitogenetika untuk penelaahan kromosom. Pengecetan atau pewarnaan tersebut berfungsi untuk mewarnai dan mengetahui jenis kelamin pada ikan. Pewarna asetokarmin terdiri dari bubuk karmin dan asam asetat 45%. Karmin merupakan zat warna yang terbuat dari ekstrak kochinil yang  merupakan hasil gerusan serangga coccus cacti yang dikeringkan (Gunarso, 1989). Larutan asetokarmin digunakan dalam pewarnaan jaringan gonad. Larutan asetokarmin dibuat dengan melarutkan 0,6 g karmin dalam 100 ml asam asetat. Larutan ini dipanaskan selama 2-4 menit kemudiaan didinginkan dan disaring menggunakan kertas saring untuk memisahkan partikel kasarnya (Guerrero and Shelton, 1974). Identifikasi gonad dengan larutan asetokarmin dibuat hanya untuk keperluan penelitian atau untuk mencari data awal (Zairin, 2002).
Metode pengamatan jenis kelamin pada ikan dapat dilakukan dengan menggunakan metode asetokarmin. Teknik asetokarmin bisa membedakan bakal testis dan bakal ovary yang nantinya akan menjadi testis dan ovarium pada ikan dewasa (Zairin, 2002). Dalam metode ini, ikan nila sebagai sampel terleih dahulu dimatikan yang kemudiaan disectio untuk diambil gonadnya. Bagian gonad terletak dipunggung atas organ pencernaan, berwarna putih susu dan berbentuk seperti benang. Gonad yang telah Nampak kemudian diambil menggunakan scalpel atau gunting dan diletakkan diatas object glass. Gonad yang ada pada object glass kemudian ditetesi dengan larutan asetokarmin hingga sampel gonad dalam object glasss tersebut tergenangi oleh larutan asetokarmin (2-3 tetes sudah cukup). Setelah gonad dan larutan dicampurkan, sampel gonad dicacah hingga halus. Pencacahan difungsikan untuk memperkecil partikel gonad dan pemberian larutan asetokarmin berfungsi untuk mewarnai gonad sehingga mudah untuk diamati dibawah mikroskop. Gonad yang telah selesai dicacah pada object glass kemudian ditutup dengan menggunakan cover glass. Usahakan dalam penutupan dengan cover glass dilakukan secara perlahan agar tidak muncul gelembung udara. Sampel gonad yang telah tersusun rapi selanjutnya diamati dibawah mikroskop. Jatilaksono (2008), memaparkan bahwa gonad betina atau ovarium berbentuk bulat dan oval, dalam lamella terdapat septa sebagai penunjang, sitoplasma lebih tebal dan terdapat nucleus. Pada gonad jantan, gonad berukuran lebih besar, didominasi jaringan ikat dan terdapat tubulus seminifer.
Teknik pewarnaan jenis kelamin pada ikan ikan yang belum terlihat kelaminnya secara jelas dapat dilakukan dengan menggunkan larutan asetokarmin. Larutan asetokarmin berfungsi sebagai pewarna yang digunakan untuk mewarnai jaringan pada gonad ikan. Asetokarmin yang memiliki warna merah akan mempermudah dalam mengetahui dan mengamati jaringan gonad ikan. Dengan adanya larutan asetokarmin pada sampel gonad maka akan diketahui jenis kelamin pada ikan tersebut. Sesuai dengan pendapat Zairin (2002) yang mengemukakan bahwa dengan adanya metode asetokarmin maka suatu jenis ikan yang belum diketahui jenis kelaminnya dan setalah diidentifikasi dengan teknik pewarnaan karmin maka akan dapat diperoleh suatu jenis kelamin pada ikan.
Berdasarkan hasil pengamatan jenis kelamin dengan menggunakan metode asetokarmin pada kelompok II, dua jenis ikan sampel berupa ikan nila diketahui memiliki jenis kelamin betina pada kedua hewan uji. Ikan jantan dan betina dapat dibedakan berdasarkan alat kelamin sekunder dan alat kelamin luarnya. Alat kelamin sudah dapat dibedakan dengan jelas apabila ikan sudah mencapai berat 30-40 gram/ekor atau kira-kira telah berumur dua bulan. Berdasarkan kelamin sekundernya perbedaan jenis kelamin ikan nila jantan dan nila betina dapat dilihat pada bagian perut, hidung dan rahang. Ikan nila jantan memiliki perut dengan dagu berwarna gelap, bentuk hidung dan rahang agak lebar dan berwarna kebiru-biruan. Sedangkan ikan nila betina memiliki perut dan dagu berwarna putih, hidung dan rahang berbentuk agak lancip dan berwarna tidak jelas (Cahyono, 2000). Berkebetulan dengan jenis sampel masih belum diketahi jenis kelamin pada ikan saat diujikan, artinya dengan metode pewarnaan karmin maka akan Nampak perbedaan antara kelamin jantan atau betina.
Menurut Pandian dan Varaday (1990) periode diferensiasi seks ikan nila sebagai berikut, untuk ikan nila jenis Oreochromis morsombrucus 11-19 hari, Oreochromis aureus 18-32 hari dan untuk Oreochromis niloticus 25-29 hari. Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan, kedua jenis sampel uji berkelamin betina dengan cirri-ciri sel yang berukuran besar. Berbeda halnya dengan jenis kelamin betina yang berukuran kecil, halus serta terlihat bentuk sperma yang menyebar dalam jumlah yang banyak. Hasil tersebut sesuai dengan pendapat Jatilaksono (2008) yang memaparkan bahwa gonad betina atau ovarium berbentuk bulat/oval , dalam lamella terdapat septa sebagai penunjang, sitoplasma lebih tebal dan terdapat beberapa nucleus. Sedangkan ikan jantan memiliki ukuran gonad yang lebih besar dan didominasi jaringan ikat yang terdapat tubulus seminifier. Apabila ditemukan jenis kelamin yang intersex maka akan terlihat bentuk sel yang kecil dan besar. Fase intersex merupakan fase peralihan kelamin, karena pergantiaan kalamin atau diferensiasi berlangsung pada fase overlap (Kordi dan Andi, 2010). Ikan dalam tahap juvenile, gonadnya tidak mempunyai jaringan yang jelas statusnya. Dari individu-individu tersebut gonadnya menjadi ovarium dan setengahnya menjadi testis (Tambonan, 2010). Disinilah terletak manfaat dari teknik asetokarmin dapat dijabarkan. Dengan adanya teknik asetokarmin maka akan dapat diketahui dan dapat memebedakan bakal testis dan bakal ovari pada ikan sebelum menjadi dewasa membentuk testis atau ovarium.


F.     KESIMPULAN
v  Sex reversal
-          Metode oral dan rendam merupakan dua metode yang umum dilakukan dalam sex reversal
-          Metode oral memiliki kelebihan yaitu kemudahan dan biaya yang murah, tidak larut dalam air, mudah dalam penanganan, tahan lama dan efektif. Kelemahannya meliputi tidak dapat dicampur langsung dengan media air. Metode rendam memiliki kelebihan antara lain yaitu cara yang dilakukan cukup sederhana dan tidak memerlukan waktu yang lama. Kekurangannya yaitu jika dosis atau konsentrasi hormone yang diberikan tidak tepat maka akan menyebabkan sex revrsal tidak berhasil dan dapat meyebabkan stress pada ikan.
v  Asetokarmin
-           Metode untuk mengetahui jenis kelamin pada ikan yang belum diketahui jenis kelaminnya dapat dilakukan dengan metode asetokarmin.
-          Metode asetokarmin memiliki beberapa kelebihan diantaranya praktis, mudah dan tidak membutuhkan waktu yang lama dalam pengerjaannya serta tidak perlu peralatan khusus, bisa diamati dengan mikroskop. Disamping memiliki kelebihan, metode ini juga memiliki kekurangan yaitu diantaranya sampel yang digunakan harus dimatikan, serta pencacahan yang kurang sempurna akan mempersulit waktu pengamatan.











DAFTAR PUSTAKA
Cahyono, B. 2000. Budidaya  Ikan Air Tawar : Ikan Gurame dan Ikan Nila. Kanisius. Yogyakarta
Djojosoebagyo. 1990. Fisiology Kelenjar Endokri. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendaral pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Guerrero, R. D and W. L. Shelton. 1974. An Asetocarmine Squash Method for Sexing Juvenille Fishes. The Progressive Fish Culturist. 42 (4): 36-56
Gunarso, Wisnu. 1989. Mikroteknik. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor
Gusrina. 2008. Budidaya Ikan Jilid I. direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuraan. Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. DEPDIKNAS. Jakarta
Hunter, G. A and Donaldson. 1983. Hormonal Sex Control and Its Aplication to Fish Culture. In Fish Phsiology (W.S. Hoar,. D.J. Randall and E. M. Donaldson, Eds. Academic Press. New York
Jatilaksono M. 2008. Pemeriksaan Gonad Ikan. Rineka Cipta. Jakarta
Kordi, G. dan Andi, T. 2010. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis Secara Buatan. Lily Publisher. Yogyakarta.
Kusmini, I.I. 2001. Pengaruh Hoemon 17α- Metiltestosteron dalam Pakan terhadap Peningkatan Kelamin Jantan Larva Udang Galah (Marcobranchium rosenbergii). Prosiding Workshop Hasil Penelitian Budidaya Udang Galah. Jakarta
Pandian dan Varaday. 1990. Technique For Producing All-made and all triploid Oreochromis mossumbius. Printed In Manila Philipnes. Manila
Piferrer, F and Donaldson. 1989. Gonadal Differentiation in Coho Salmon, Oncorhynchus kisutch After A Single Treatment with Androgen at Different Stages During Ontogenis. Aquaculture. P.250- 262
Popma, J. J dan B. W. Green. 1991. Perubahan Sex Tilapia di Kolam Tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Departemen Perikanan
Ruliaty, L., Mardjono, M dan Prastowo, R. 2004. Maskulinisasi Benih Rajungan dengan perendaman Hormon 17α- Metil Tesstosteron Sebagai Upaya Untuk Peningkatan Produktivitas. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. Jepara
Tambonan,M.I.2010. Seksual Ikan. Sekolah tinggi Kelautan dan Perikanan Indonesia. Sumatra Utara
Yamamoto, T. 1953. Artificial Induction of Functional Sex Reversal in Genotipe Males of The Medaka (Oryzias latipes). Jurnal Exp. Zool., 123
Yamazaki, F. 1983. Sex Control and Manipulation in Fish. In Genetic Aquaculture. Elsevier Science Publishess. B.V. New York
Zairin, M. 2002. Sex Reversal : Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina. Penebar Swadaya. Jakarta
Zairin, M. 2013. Kiat Memijahkan Ikan Hias Secara Teratur. Digreat Publishing. Bogor


Tidak ada komentar:

Posting Komentar