AHMAD
HUSEIN
11/313633/PN/12327
SEX
REVERSAL DAN ACETOKARMIN
A.
TUJUAN
1. Sex
revrsal
-
Mengetahui beberapa metode yang
digunakan untuk sex reversal
-
Mengetahui kelebihan dan kekurangan dari
setiap metode
2. Acetokarmin
-
Mengetahui metode yang digunakan untuk
melihat jenis kelamin ikan melalui pengamatan pada gonad ikan
-
Mengetahui kelebihan dan kekurangan
metode asetokarmin yang digunakan dalam melihat jenis kelamin ikan
B.
ALAT
DAN BAHAN
1.
Sex reversal
Alat: Bahan:
-
Aquarium -
Indukan ikan guppy
-
Selang -
Pakan D0
-
Aerasi -
Koran
-
Sprayer semprot - 17α- Methyl
testosterone
-
Seser -
Alkohol 70%
-
Penggaris
-
Alat tulis
2.
Acetokarmin
Alat:
Bahan:
-
Alat section (gunting, scalpel dan
pinset) - Ikan sampel (ikan
nila)
-
Object glass - Larutan acetokarmin
-
Cover glass
-
Mikroskop
-
Alat dokumentasi (kamera)
C.
CARA
KERJA
1.
Sex reversal
-
Metode oral
Disiapkan
sepasang indukan ikan guppy
↓
Dipijahkan dalam
waktu empat hari
↓
Dihari ke-5,
indukan jantan dipisahkan
↓
Larutankan 80 mg
17α- methyl testosterone pada 1 L alkohol 70%
↓
Dimasukkan
kedalam sprayer, disemprot pakan D0 sebanyak 200 gr
↓
Pakan
dikeringkan
↓
Pakan D0 yang
telah kering kemudiaan diberikan pada induk betina hingga beranak
-
Metode rendam
Disiapkan
sepasang indukan ikan guppy
↓
Dipijahkan
selama empat hari
↓
Dihari ke-5,
indukan jantan dipisahkan
↓
Larutankan 20 mg
17α- methyl testosterone pada 0,5 ml alkohol 70%
↓
Dimasukkan
larutan berhormon kedalam 10 L air
↓
Air pada
aquarium indukan betina diganti dengan 10 L air berhormon
↓
Rendam dengan
air berhormon selama 24 jam
↓
Pada hari ke-6,
air pada aquarium indukan betina diganti dengan air biasa
↓
Dipelihara induk
hingga beranak
2.
Acetokarmin
Dimatikan ikan
↓
Disectio ikan, ambil bagian gonad
↓
Diletakkan gonad pada object glass
↓
Ditetesi gonad dengan larutan acetokarmin hingga
menggenangi sampel
↓
Dicacah gonad hingga halus
↓
Ditutup sampel dengan cover glass
↓
Diamati dengan mikroskop
↓
Didokumentasikan
D.
HASIL
PENGAMATAN
1. Sex
reversal
Kelompok
|
Oral (%)
|
Rendam (%)
|
1
|
-
|
-
|
2
|
100
|
-
|
3
|
-
|
-
|
4
|
-
|
-
|
5
|
-
|
-
|
Rasio : Oral = 9;1
: Rendam = 7;3
2. Acetokarmin
-
Hasil dokumentasi (foto) terlampir
-
Jenis kelamin ikan
kelompok
|
Sampel
|
|
1
|
2
|
|
1
|
Betina
|
Betina
|
2
|
Betina
|
Betina
|
3
|
Jantan
|
Betina
|
4
|
Betina
|
Betina
|
5
|
intersex
|
Betina
|
E.
PEMBAHASAN
SEX REVERSAL
Menurut
Zairin (2002), sex reversal dapat diartikan sebagai suatu teknologi yang
membalikkan arah perkembangan kelamin menjadi berlawanan. Dengan penerapan
teknologi ini, ikan yang seharusnya berkelamin jantan diarahkan perkembangan
gonagnya menjadi betina dan sebaliknya. Cara ini mungkin dilakukan karena pada
waktu menetas gonad ikan belum terdeferensiasi secara jelas menjadi jantan atau
betina. Salah satu cara memperoleh ikan jantan dalam jumlah banyak adalah
dengan pembalikan (sex reversal) dengan pemberian hormone androgen selama
proses diferensiasi. Sasaran pembalikan adalah ikan bergenotif betina, sebab
jantan otomatis akan menjadi genotif jantan. Hormon yang diberikan selama masa
labil perkembangan gonadnya mempunyai pengaruh yang lebih dominan dibanding
dengan pengaruh hormone estrogen yang dihasilkan oleh gonad. Hormon yang dapat
digunakan untuk membuat genotif ikan menjadi fenotif jantan adalah 17α- methyl
testosteron, 11- ketontestosteron, 17α- etiltestosteron, testosteron
propionate, androsteron, androtenoidione dan metal-andro stenedione (Yamamato,
1953).
Menurut
Zairin (2002) dengan membudidayakan ikan secara sex reversal maka didapatkan
ikan denga pertumbuhan yang cepat, mencegah terjadinya pemijahan liar,
mendapatkan ikan dengan penampilan yang menarik dan menunjang genetika ikan
yaitu suatu teknik pemurniaan ras ikan. Kegiatan budidaya secara monosex (sex
reversal) akan bermanfaat dalam peningkatan laju pertumbuhan ikan. Hal ini
dikarenakan adanya perbedaan tingkat pertumbuhan antara jenis ikan jantan dan
ikan betina. Untuk mencegah pemijahan liar dapat dilakukan dengan metode sex
reversal. Pemijahan ikan yang tidak terkontrol dapat menyebakan kolam cepat
penuh dengan berbagai ukuran, total biomassa tinggi dan kualitas ikan menjadi
rendah. Pada beberapa jenis ikan seperti ikan hias cupang dan guppy penerapan
dengan metode ini akan memiliki penampilan tubuh yang lebih baik pada jantan.
Dengan demikian nilai jual akan tinggi dan akan meningkatkan produktifitas
pendapatan.
Beberapa
metode yang digunakan yang digunakan dalam sex reversal meliputi metode
pemberian pakan berhormon dan metode perendaman dengan larutan berhormon. Metode
oral/ pemberian pakan berhormon dapat dilakukan dengan melartukan hormone dalam
pelarut polar seperti alkohol dan disemprtokan pada pakan buatan (pakan D0)
yang kemudian dikeringkan dengan dilapisi koran dibawahnya. Hormon yang
digunakan dapat berupa hormone estrogen (feminisasi) dan hormone androgen
(maskulinisasi). Metode pemberian pakan berhormon memiliki kelebihan yaitu
kumudahan dan biaya murah, tidak larut dalam air, mudah dalam penanganan, tahan
lama dan sangat efektif jika diaplikasikan secara oral atau dicampur dengan pakan.
Kelemahan dari metode ini adalah tidak dapat dicampur langsung dengan air serta
adanya keterbatasan larva dalam mengkonsumsi pakan (Popma dan Green, 1991).
Pakan yang telah selesai dikeringkan kemudiaan disimpan dan memberikan pakan
tersebut ke induk betina hingga indukan mengeluarkan anak.
Metode
yang kedua adalah metode rendam yaitu perendaman dengan larutan berhormon.
Metode ini merupakan metode yang dilakukan dengan merendam object target
kedalam larutan berhormon selama rentang waktu tertentu. Hormon yang terlarut
didalam air diharapkan mampu masuk kedalam tubuh ikan melalui proses difusi.
Ikan yang telah dipijahkan selama 4 hari dan pada hari ke-5 induk jantan
dipisahkan dari induk betina. Larutkan 17α- methyl testosterone pada 0,5 ml
alkohol 70% dan masukkan larutan tersebut kedalam 10 L air dan air yang
tersebut dimasukkan kedalam wadah induk betina dengan mengganti air yang ada
sebelumnya. Ikan induk betina direndam dalam larutan berhormon selama ±24 jam
dan pada hari ke-6 pemeliharaan air pada indukan betina diganti kembali dengan
air bersih. Kelemahan dari metode ini adalah hormon untuk mencapai sel target
terlalu jauh dan pemberiaan hormon dengn dosis yang terlalu tinggi maka larva
ikan tidak kuat dan dapat menyebabkan kematian.
Hormon
17α- methyl testosterone adalah salah satu hormon untuk mempertinggi terjadinya
produksi kelamin jantan pada ikan. Hormon ini adalah hormon androgen sintesis
yang fungsinya untuk dapat mempengaruhi perubahan kelamin individu. Mekanisme
kerja dari 17α- methyl testosterone yaitu menghambat terjadinya pembentukan
gonad betina sehingga perkembangan gonad selanjutnya yang akan berkembang
adalah testis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa testosterone dalam jumlah
kecil yang diberikan kepada individu yang gonadnya belum berkembang secara
langsung akan memperngaruhi hypothalamus secara tetap selama tahap kritis
perkembangan gonad dan pembentukan karakter jantan. Diduga testosterone
mempengaruhi neuron melalui bagian preotic hypothalamus dengan synapsis
disekresikan pada gonadotropin releasing factor (Kusmini, 2004).
Untuk
memperoleh hasil yang terbaik dari kajian sex reversal yang dilakuan menurut
Zairin (2002), dosis atau konsentrasi, waktu dan lama perendaman merupakan
faktor penting yang menunjang keberhasilan pengubahan sex kelamin.
Berdasararkan penelitian yang dilakukan oleh Ruliaty dkk (2004), perendaman
benih rajungan dengan dosis hormone 17α- methyl testosterone yang berbeda
memberikan pengaruh nyata (p<0,5) terhadap pembelokan kelamin benih uji
menjadi jantan. Menurut Hunter dan Donaldson (1983), ada hubungan antara awal
dan akhir diferensiasi kelamin dengan lama waktu pemberian hormon. Pemberian
hormon sengat bergantung pada interval waktu perkembangan gonad, yaitu pada
saat gonad labil untuk dipengaruhi oleh hormon sehingga pemberiaan hormon
steroid sebagai perangsang diferensiasi harus dilakukan secara bersamaan dengan
waktu terjadinya diferensiasi alami. Diferensiasi kelamin merupakan masa
kritis, diferensiasi ini dimulai setelah menetas baik sebelum atau sesudah
larva mulai makan. Masa kritis tersebut merupakan masa yang tepat untuk
pemberiaan hormon steroid (Yamazaki, 1983).
Selain
hal diatas, proses biologis yang terjadi pada hewan uji yang berkaitan dengan
penyerapan hormon turut mempengaruhi keberhasilan sex kelamin hewan uji menjadi
jantan. Proses penyerapan hormon kedalam tubuh diduga terjadi melalui proses
difusi, dari insang hormon dibantu oleh pembuluh darah, setelah itu hormon
diedarkan ke organ dan jaringan syaraf. Sesampainya disel atau ditarget
sasaran, steroid yang yang masuk berikatan dengan reseptor yang terletak dalam
kantong sperma (Djojosoebagyo, 1990). Penambahan hormon kedalam media
perendaman menyebabkan adanya perbedaan konsentrasi hormon dalam cairan larva
dengan konsentrasi didalam media. Perbedaan ini selanjutnya menyebabkan
terjadinya difusi. Menurut Hunter dan Donaldson (1983), keberhasilan mengubah
sex kelamin tidak hanya ditentukan oleh jenis dan dosis hormon yang digunakan,
akan tetapi juga dipengaruhi oleh lama pemberiaan dosis/hormon, spesies dan
suhu air selama masa perlakuan serta tata cara pemberian hormon. Pemberian
hormon methyl testosterone dengan konsentrasi tinggi dan masa pemberian yang
lama dapat menyebabkan terjadinya efek paradoksial yaitu yang diberi perlakuan
dengan methyl testosterone hasil yang diperoleh bukan peningkatan jumlah
kelamin jantan melainkan peningkatan jenis kelamin betina (Piferrer and
Donaldson, 1989).
Berdasarkan
hasil pengamatan terhadap pengujian sex reversal terhadap ikan guppy diperoleh
hasil yang berbeda-beda dari setiap perlakuan pada beberapa kelompok penguji.
Kelompok dengan perlakuan metode oral atau pemberian dengan pakan berhormon
menghasilkan anakan dengan rasio 9 jantan dan 1 betina (9;1). Hal tersebut
sesuai dengan pendapat Gusrina (2008) yang menyatakan bahwa metode dengan oral
dapat meghasilkan anakan jantan hingga mencapai presentasi 90-100%. Pada
kelompok dengan perlakuan metode rendam yaitu merendam indukan ikan betina
dengan larutan berhormon menghasilkan anakan dengan rasio 7 jantan dan 3 betina
(7;3). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Gusrina (2008) yang menyatakan bahwa
metode dengan rendam dapat meghasilkan anakan jantan hingga mencapai presentasi
atau tidak lebih dari 70%.
Kemungkinan
yang terjadi saat uji sex reversal tidak menghasilkan anakan adalah disebabkan
oleh faktor kualitas air. Pada beberapa kelompok penguji kemungkinan yang ada
yaitu kurangnya telaah tentang kualitas air yang baik untuk budidaya. Ikan
guppy yang mempunyai kisaran toleransi terhadap pergeseran kualitas air yang
drastis juga memiliki kualitas air tertentu terkait dengan mekanisme
reproduksinya. Agar mudah memijah, ikan guppy harus dipelihara pada air yang
agak sadah dengan pH antara 6,0-7,0 (Zairin, 2013). Selain faktor
kualitas air tersebut, faktor seperti cara pemberian hormone (dosis tertentu)
dan lama pemberian (perendaman) juga dapat mempengaruhi keberhasilan dari ikan
yang dipijahkan. Pemberian hormone dengan konsentrasi yang tinggi dan lamanya
masa pemberian hormone juga akan menyebabkan terjadinya efek paradoksial
ataupun tidak sama sekali menghasilkan keturunan yang baru.
ACETOKARMIN
Asetokarmin
merupakan salah satu teknik modifikasi pewarnaan dalam bidang sitogenetika
untuk penelaahan kromosom. Pengecetan atau pewarnaan tersebut berfungsi untuk
mewarnai dan mengetahui jenis kelamin pada ikan. Pewarna asetokarmin terdiri
dari bubuk karmin dan asam asetat 45%. Karmin merupakan zat warna yang terbuat
dari ekstrak kochinil yang merupakan
hasil gerusan serangga coccus cacti
yang dikeringkan (Gunarso, 1989). Larutan asetokarmin digunakan dalam pewarnaan
jaringan gonad. Larutan asetokarmin dibuat dengan melarutkan 0,6 g karmin dalam
100 ml asam asetat. Larutan ini dipanaskan selama 2-4 menit kemudiaan
didinginkan dan disaring menggunakan kertas saring untuk memisahkan partikel
kasarnya (Guerrero and Shelton, 1974). Identifikasi gonad dengan larutan
asetokarmin dibuat hanya untuk keperluan penelitian atau untuk mencari data
awal (Zairin, 2002).
Metode
pengamatan jenis kelamin pada ikan dapat dilakukan dengan menggunakan metode
asetokarmin. Teknik asetokarmin bisa membedakan bakal testis dan bakal ovary
yang nantinya akan menjadi testis dan ovarium pada ikan dewasa (Zairin, 2002).
Dalam metode ini, ikan nila sebagai sampel terleih dahulu dimatikan yang
kemudiaan disectio untuk diambil gonadnya. Bagian gonad terletak dipunggung
atas organ pencernaan, berwarna putih susu dan berbentuk seperti benang. Gonad
yang telah Nampak kemudian diambil menggunakan scalpel atau gunting dan
diletakkan diatas object glass. Gonad yang ada pada object glass kemudian
ditetesi dengan larutan asetokarmin hingga sampel gonad dalam object glasss
tersebut tergenangi oleh larutan asetokarmin (2-3 tetes sudah cukup). Setelah
gonad dan larutan dicampurkan, sampel gonad dicacah hingga halus. Pencacahan
difungsikan untuk memperkecil partikel gonad dan pemberian larutan asetokarmin
berfungsi untuk mewarnai gonad sehingga mudah untuk diamati dibawah mikroskop. Gonad
yang telah selesai dicacah pada object glass kemudian ditutup dengan
menggunakan cover glass. Usahakan dalam penutupan dengan cover glass dilakukan
secara perlahan agar tidak muncul gelembung udara. Sampel gonad yang telah
tersusun rapi selanjutnya diamati dibawah mikroskop. Jatilaksono (2008),
memaparkan bahwa gonad betina atau ovarium berbentuk bulat dan oval, dalam
lamella terdapat septa sebagai penunjang, sitoplasma lebih tebal dan terdapat
nucleus. Pada gonad jantan, gonad berukuran lebih besar, didominasi jaringan
ikat dan terdapat tubulus seminifer.
Teknik
pewarnaan jenis kelamin pada ikan ikan yang belum terlihat kelaminnya secara
jelas dapat dilakukan dengan menggunkan larutan asetokarmin. Larutan
asetokarmin berfungsi sebagai pewarna yang digunakan untuk mewarnai jaringan
pada gonad ikan. Asetokarmin yang memiliki warna merah akan mempermudah dalam
mengetahui dan mengamati jaringan gonad ikan. Dengan adanya larutan asetokarmin
pada sampel gonad maka akan diketahui jenis kelamin pada ikan tersebut. Sesuai
dengan pendapat Zairin (2002) yang mengemukakan bahwa dengan adanya metode
asetokarmin maka suatu jenis ikan yang belum diketahui jenis kelaminnya dan
setalah diidentifikasi dengan teknik pewarnaan karmin maka akan dapat diperoleh
suatu jenis kelamin pada ikan.
Berdasarkan
hasil pengamatan jenis kelamin dengan menggunakan metode asetokarmin pada
kelompok II, dua jenis ikan sampel berupa ikan nila diketahui memiliki jenis
kelamin betina pada kedua hewan uji. Ikan jantan dan betina dapat dibedakan
berdasarkan alat kelamin sekunder dan alat kelamin luarnya. Alat kelamin sudah
dapat dibedakan dengan jelas apabila ikan sudah mencapai berat 30-40 gram/ekor
atau kira-kira telah berumur dua bulan. Berdasarkan kelamin sekundernya
perbedaan jenis kelamin ikan nila jantan dan nila betina dapat dilihat pada
bagian perut, hidung dan rahang. Ikan nila jantan memiliki perut dengan dagu
berwarna gelap, bentuk hidung dan rahang agak lebar dan berwarna kebiru-biruan.
Sedangkan ikan nila betina memiliki perut dan dagu berwarna putih, hidung dan
rahang berbentuk agak lancip dan berwarna tidak jelas (Cahyono, 2000). Berkebetulan
dengan jenis sampel masih belum diketahi jenis kelamin pada ikan saat diujikan,
artinya dengan metode pewarnaan karmin maka akan Nampak perbedaan antara
kelamin jantan atau betina.
Menurut
Pandian dan Varaday (1990) periode diferensiasi seks ikan nila sebagai berikut,
untuk ikan nila jenis Oreochromis
morsombrucus 11-19 hari, Oreochromis
aureus 18-32 hari dan untuk Oreochromis
niloticus 25-29 hari. Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan, kedua
jenis sampel uji berkelamin betina dengan cirri-ciri sel yang berukuran besar.
Berbeda halnya dengan jenis kelamin betina yang berukuran kecil, halus serta
terlihat bentuk sperma yang menyebar dalam jumlah yang banyak. Hasil tersebut
sesuai dengan pendapat Jatilaksono (2008) yang memaparkan bahwa gonad betina
atau ovarium berbentuk bulat/oval , dalam lamella terdapat septa sebagai
penunjang, sitoplasma lebih tebal dan terdapat beberapa nucleus. Sedangkan ikan
jantan memiliki ukuran gonad yang lebih besar dan didominasi jaringan ikat yang
terdapat tubulus seminifier. Apabila ditemukan jenis kelamin yang intersex maka
akan terlihat bentuk sel yang kecil dan besar. Fase intersex merupakan fase
peralihan kelamin, karena pergantiaan kalamin atau diferensiasi berlangsung pada
fase overlap (Kordi dan Andi, 2010). Ikan dalam tahap juvenile, gonadnya tidak
mempunyai jaringan yang jelas statusnya. Dari individu-individu tersebut
gonadnya menjadi ovarium dan setengahnya menjadi testis (Tambonan, 2010).
Disinilah terletak manfaat dari teknik asetokarmin dapat dijabarkan. Dengan
adanya teknik asetokarmin maka akan dapat diketahui dan dapat memebedakan bakal
testis dan bakal ovari pada ikan sebelum menjadi dewasa membentuk testis atau
ovarium.
F.
KESIMPULAN
v Sex
reversal
-
Metode oral dan rendam merupakan dua
metode yang umum dilakukan dalam sex reversal
-
Metode oral memiliki kelebihan yaitu
kemudahan dan biaya yang murah, tidak larut dalam air, mudah dalam penanganan,
tahan lama dan efektif. Kelemahannya meliputi tidak dapat dicampur langsung
dengan media air. Metode rendam memiliki kelebihan antara lain yaitu cara yang
dilakukan cukup sederhana dan tidak memerlukan waktu yang lama. Kekurangannya
yaitu jika dosis atau konsentrasi hormone yang diberikan tidak tepat maka akan
menyebabkan sex revrsal tidak berhasil dan dapat meyebabkan stress pada ikan.
v Asetokarmin
-
Metode untuk mengetahui jenis kelamin pada
ikan yang belum diketahui jenis kelaminnya dapat dilakukan dengan metode
asetokarmin.
-
Metode asetokarmin memiliki beberapa
kelebihan diantaranya praktis, mudah dan tidak membutuhkan waktu yang lama
dalam pengerjaannya serta tidak perlu peralatan khusus, bisa diamati dengan
mikroskop. Disamping memiliki kelebihan, metode ini juga memiliki kekurangan
yaitu diantaranya sampel yang digunakan harus dimatikan, serta pencacahan yang
kurang sempurna akan mempersulit waktu pengamatan.
DAFTAR
PUSTAKA
Cahyono, B. 2000. Budidaya Ikan Air Tawar : Ikan Gurame
dan Ikan Nila. Kanisius. Yogyakarta
Djojosoebagyo. 1990. Fisiology Kelenjar
Endokri. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendaral pendidikan
Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Guerrero, R. D and W. L. Shelton. 1974.
An Asetocarmine Squash Method for Sexing Juvenille Fishes. The Progressive Fish
Culturist. 42 (4): 36-56
Gunarso, Wisnu. 1989. Mikroteknik.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat
Antar Universitas Ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor
Gusrina. 2008. Budidaya Ikan Jilid I.
direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuraan. Dirjen Manajemen Pendidikan
Dasar dan Menengah. DEPDIKNAS. Jakarta
Hunter, G. A and Donaldson. 1983.
Hormonal Sex Control and Its Aplication to Fish Culture. In Fish Phsiology
(W.S. Hoar,. D.J. Randall and E. M. Donaldson, Eds. Academic Press. New York
Jatilaksono M. 2008. Pemeriksaan Gonad
Ikan. Rineka Cipta. Jakarta
Kordi, G. dan Andi, T. 2010. Pembenihan Ikan
Laut Ekonomis Secara Buatan. Lily Publisher. Yogyakarta.
Kusmini, I.I. 2001. Pengaruh Hoemon 17α-
Metiltestosteron dalam Pakan terhadap Peningkatan Kelamin Jantan Larva Udang
Galah (Marcobranchium rosenbergii). Prosiding Workshop Hasil Penelitian
Budidaya Udang Galah. Jakarta
Pandian dan Varaday. 1990. Technique For
Producing All-made and all triploid Oreochromis mossumbius. Printed
In Manila Philipnes. Manila
Piferrer, F and Donaldson. 1989. Gonadal
Differentiation in Coho Salmon, Oncorhynchus kisutch After A Single Treatment
with Androgen at Different Stages During Ontogenis. Aquaculture. P.250- 262
Popma, J. J dan B. W. Green. 1991. Perubahan Sex Tilapia di Kolam Tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perikanan. Departemen Perikanan
Ruliaty, L., Mardjono, M dan Prastowo,
R. 2004. Maskulinisasi Benih Rajungan dengan perendaman Hormon 17α- Metil
Tesstosteron Sebagai Upaya Untuk Peningkatan Produktivitas. Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. Jepara
Tambonan,M.I.2010. Seksual Ikan. Sekolah tinggi
Kelautan dan Perikanan Indonesia. Sumatra Utara
Yamamoto, T. 1953. Artificial Induction of Functional Sex Reversal in Genotipe Males of
The Medaka (Oryzias latipes). Jurnal Exp. Zool., 123
Yamazaki, F. 1983. Sex Control and
Manipulation in Fish. In Genetic Aquaculture. Elsevier Science Publishess. B.V.
New York
Zairin, M. 2002. Sex Reversal :
Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina. Penebar Swadaya. Jakarta
Zairin, M. 2013. Kiat Memijahkan Ikan
Hias Secara Teratur. Digreat Publishing. Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar